Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan

Pengaruh Culture Shock Terhadap Mahasiswa Studi Kasus di Institut Teknologi Telkom, Bandung Part.2

on Senin, 29 April 2013

Tulisan ini adalah tulisan yang ke-2 , untuk membaca bagian awal silahkan klik disini

 

BAB III

ANALISIS DATA

Tabel 3.1. Harapan pertama ketika tiba di Bandung

Variabel

Jumlah

Persentase(%)

Optimistik, Senang, dan Tertantang hidup di lingkungan baru dan keinginan berprestasi

62

50,0

Biasa saja

49

39,5

Tidak Optimis, karena IT Telkom bukan tujuan awal/utama

13

10,5

Dari data yang terkumpul dapat disimpulkan setengah mahasiswa optimis, senang, dan tertantang hidup di lingkungan baru dan mempunyai keinginan berprestasi, sedangkan hampir 40% menganggap biasa saja ketika tiba di Bandung.

Tabel 3.2. Mengalami Culture Shock ketika pertama (1-3) bulan tinggal di Bandung

Variabel

Jumlah

Ya

62

Tidak

62

image

Gambar 3.1. Mengalami Culture Shock ketika pertama (1-3) bulan tinggal di Bandung dalam persen

Mahasiswa yang mengalami culture shock ketika tiba di Bandung sebanyak 50%, sedangkan yang tidak mengalami culture shock juga sebanyak 50%.

Tabel 3.3. Bentuk-Bentuk Culture Shock yang anda alami saat 1-3 bulan pertama tinggal di Bandung

Variabel

Jumlah

Merasa tidak nyaman dan tidak betah

25

Mengalami kebingungan dan ketidaktahuan ingin berbuat apa

27

Kesulitan bergaul dan mencari teman

16

Pernah tertekan dan stress hingga sakit

8

Ingin pergi meninggalkan Bandung

4

Merasa orang Bandung tidak meyenangkan

6

Bermasalah dengan makanan dan pola makanan

20

Total Responden : 62

image

Responden dapat memilih lebih dari satu opsi

Gambar 3.2. Bentuk-Bentuk Culture Shock yang anda alami saat 1-3 bulan pertama tinggal di Bandung dalam persen

Bentuk culture shock yang dialami mahasiswa IT Telkom pada 1-3 bulan pertama tinggal di Bandung, sebanyak 25% mengalami kebingungan dan ketidaktahuan ingin berbuat apa di Bandung, sedangkan 24% menjawab merasa tidak betah dan tidak nyaman tinggal di Bandung. Sebanyak 19% menjawab mengalami masalah dengan makanan dan pola makan.

Tabel 3.4. Culture Shock dalam kaitannya dengan mengganggu motivasi belajar

Variabel

Jumlah

Terganggu motivasi belajarnya

35

Tidak terganggu sama sekali

27

Total Responden : 62

image

Gambar 3.3. Culture Shock dalam kaitannya dengan mengganggu motivasi belajar dalam persen

Sebanyak 56% responden mengkaui bahwa culture shock yang mereka alami dapat mengganggu motivasi belajar yang dapat berdampak pada prestasi akademik. Sedangkan sisanya menjawab tidak mengganggu sama sekali terhadap motivasi belajar mahasiswa.

Tabel 3.5. Bentuk gangguan motivasi belajar yang dialami mahasiswa akibat mengalami culture shock

Variabel

Jumlah

Malas datang kuliah

27

Bolos kuliah

11

Tidak bisa berkonsentrasi ketika kuliah

28

Merasa tidak nyaman ikut kuliah dan ingin berhenti kuliah

11

Nilai atau IP kuliah jeblok

15

Jumlah Responden : 35

Responden dapat memilih lebih dari satu opsi

Gambar 3.4. Bentuk gangguan motivasi belajar yang dialami mahasiswa akibat mengalami culture shock dalam persen

Berdasarkan data yang didapat, sebanyak 31% mahasiswa mengalami gangguan motivasi belajar berupa tidak bisa berkonsentrasi pada saat kuliah, sedangkan 29% mahasiswa berpendapat malas untuk mengikuti perkuliahan.

Tabel 3.6. Masih mengalami culture shock hingga saat ini

Variabel

Jumlah

Ya, masih mengalami

30

Tidak, sudah bisa beradaptasi

32

Jumlah Responden : 62

Gambar 3.5. Masih mengalami culture shock hingga saat ini dalam persen

Sebanyak 52% mahasiswa masih mengalami culture shock hingga saat ini. Tentu hal ini kurang baik mengingat mereka sudah cukup lama tinggal di Bandung (minimal 6 bulan). Hal ini juga menunjukkan tingkat adaptasi lingkungan yang kuran. Dengan masih banyak mahasiswa yang mengalami culture shock hingga saat ini, dikhawatirkan dapat mengganggu motivasi belajar mahasiswa.

Tabel 3.7. Bentuk-Bentuk Culture Shock yang dialami hingga saat ini

Variabel

Jumlah

Merasa tidak nyaman dan tidak betah

7

Mengalami kebingungan dan ketidaktahuan ingin berbuat apa

2

Kesulitan bergaul dan mencari teman

4

Pernah tertekan dan stress hingga sakit

4

Ingin pergi meninggalkan Bandung

5

Merasa orang Bandung tidak meyenangkan

5

Bermasalah dengan makanan dan pola makanan

10

image

Gambar 3.6. Bentuk-Bentuk Culture Shock yang dialami hingga saat ini dalam persen

Bentuk culture shock yang dialami mahasiswa hingga saat ini persentase tertinggi adalah masih bermasalah dengan pola makan dan makanan yang ada di Bandung (lingkungan kampus) sebanyak 27%, lalu merasa tidak nyaman dan tidak betah dengan lingkungan Bandung sebanyak 19%, 14% responden lainnya menyatakan merasa masyarakat di lingkungan kampus tidak menyenangkan.

Hipotesis berdasarkan hasil rekap data

a. Keterkaitan Kemiripan Budaya dengan culture shock yang dialami

Tabel 3.8. Keterkaitan kemiripan budaya dengan culture shock yang dialami

Variabel

Mengalami culture shock / jumlah responden

Persentase (%)

Sangat Mirip (70-100%)

10/20

50,0%

Mirip (30-70%)

23/52

44,2%

Tidak Mirip (0-30%)

29/52

55,7%

Dari tabel diatas dapat diketahui semakin tidak mirip kesamaan budaya asal dengan budaya yang ditempati sekarang, kemungkinan mengalami culture shock semakin besar. Meskipun dalam taraf budaya sangat mirip persentase mengalami culture shock justru lebih tinggi dibandingkan hanya mirip saja.

b. Keterkaitan provinsi asal dengan pengalaman culture shock

Tabel 3.9. Keterkaitan provinsi asal dengan pengalaman culture shock

No

Provinsi

Jumlah

Mengalami Culture Shock

Persentase(%)

1

Sumatera Utara

5

3

60,0

2

Sumatera Barat

3

2

66,7

3

Sumatera Selatan

3

2

66,7

4

Bangka

1

1

100,0

5

Riau

2

0

0,0

6

Lampung

4

3

75,0

7

DKI Jakarta

12

3

25,0

8

Banten

5

2

40,0

9

Jawa Barat (non Bandung)

37

19

51,4

10

Jawa Tengah

24

11

45,8

11

Jawa Timur

14

7

50,0

12

DI Yogyakarta

5

2

40,0

13

Bali

2

1

50,0

14

Kalimantan Selatan

2

1

50,0

15

Kalimantan Timur

2

2

100,0

16

Kalimantan Barat

1

1

100,0

17

Sulawesi Selatan

1

1

100,0

18

Maluku

1

1

100,0

Jumlah

124

Berdasarkan data diatas yang bisa dipilah berdasarkan pulau / region, di wilayah Sumatera tingkat yang mahasiswa mengalami culture shock berkisar antara 60-100%. Meskipun mahasiswa yang berasal dari provinsi Riau didapatkan angka 0%. Sedangkan untuk wilayah pulau Jawa yang relatif paling dekat dengan kampus (Jawa Barat), tingkat mahasiswa yang mengalami culture shock cenderung kecil hingga sedang, antara 25%-50%. Untuk wilayah Indonesia Tengah ke Timur, tingkat culture shock cukup tinggi antara 50%-100% namun dominan di 100%. Maka dapat ditarik kesimpulan semakin jauh tempat asal / domisili mahasiswa semakin besar mengalami culture shock ketika tiba di Bandung.

c. Keterkaitan mengalami culture shock dan menurunkan motivasi belajar terhadap IPK mahasiswa

No

IPK

Jumlah responden

Mengalami culture shock, dan terganggu motivasi belajarnya

Persentase

1

1,00-1,50

2

2

100,0

2

1,51-2,00

2

2

100,0

3

2,01-2,50

22

9

40,9

4

2,51-3,00

36

8

22,2

5

3,01-3,50

45

11

24,4

6

3,51-4,00

17

3

17,6

Tabel 3.10. Keterkaitan mengalami culture shock dan menurunkan motivasi belajar terhadap IPK mahasiswa

Dari data diatas dapat ditarik kesimpulan dari mahasiswa yang mendapat IPK antara 1,00-1,50 seluruhnya mengalami culture shock dan terganggu motivasi belajarnya akibat mengalami culture shock. Semakin tinggi IPK yang didapatkan persentase terganggunya motivasi belajar akibat culture shock cenderung semakin kecil. Dapat ditarik kesimpulan terganggunya motivasi belajar akibat culture shock dapat berpengaruh terhadap prestasi akademik mahasiswa.

d. Keterkaitan jumlah semester yang sudah ditempuh dengan pengalaman mengalami culture shock hingga di awal saat ini

Tabel 3.11. Keterkaitan jumlah semester yang sudah ditempuh dengan pengalaman mengalami culture shock di awal hingga saat ini

No

Semester

Jumlah responden

Mengalami Culture Shock di awal

Mengalami Culture shock hingga saat ini

Perubahan (%)

1

2

28

9

3

33,3

2

4

76

45

21

46,7

3

6

9

3

2

66,7

4

8

11

4

1

25,0

Dapat ditarik kesimpulan dari tabel diatas, jumlah semester (lama tinggal) di Bandung tidak mempengaruhi terhadap perubahan culture shock yang dialami hingga saat ini , karena data di semester dua hingga semester enam, persentase perubahan justru semakin tinggi.

 

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Berdasarkan mini riset yang telah kami lakukan, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut.

a. Setengah sampel dari populasi (50%) mahasiswa mengalami fase optimistik dimana mereka merasa senang dan tertantang ketika awal berpindah ke Bandung dan memiliki keinginan untuk berprestasi.

b. Sebanyak 50% mahasiswa mengalami culture shock pada 1-3 bulan pertama tinggal di Bandung.

c. Bentuk culture shock yang dialami mahasiswa IT Telkom pada 1-3 bulan pertama tinggal di Bandung, sebanyak 25% mengalami kebingungan dan ketidaktahuan ingin berbuat apa di Bandung, sedangkan 24% menjawab merasa tidak betah dan tidak nyaman tinggal di Bandung. Sebanyak 19% menjawab mengalami masalah dengan makanan dan pola makan.

d. Sebanyak 56% mahasiswa yang diteliti mengakui terganggu motivasi belajarnya akibat mengalami culture shock

e. Bentuk gangguan motivasi belajar yang dialami diantaranya sebanyak 31% mahasiswa mengalami gangguan motivasi belajar berupa tidak bisa berkonsentrasi pada saat kuliah, sedangkan 29% mahasiswa berpendapat malas untuk mengikuti perkuliahan.

f. Hampir setengah responden (48%) dari yang sebelumnya mengalami culture shock pada saat awal tinggal di Bandung, ternyata masih mengalami culture shock hingga saat ini.

g. Semakin tidak mirip kesamaan budaya asal dengan budaya yang ditempati sekarang, kemungkinan mengalami culture shock semakin besar. Meskipun dalam taraf budaya sangat mirip persentase mengalami culture shock justru lebih tinggi dibandingkan hanya mirip saja.

h. Semakin jauh tempat asal / domisili mahasiswa semakin besar mengalami culture shock ketika tiba di Bandung.

i. Dalam penelitian ini, jumlah semester yang telah ditempuh (lama tinggal) di Bandung tidak mempengaruhi terhadap perubahan culture shock yang dialami hingga saat ini.

4.2 Saran

a. Dalam bidang Ekonomi, berdasarkan hasil kuisioner yang didapat, dengan faktor mahasiswa yang terganggu motivasi belajarnya mengakibatkan mahasiswa tersebut tidak bisa berkonsentrasi saat kuliah (31 %), malas mengikuti kuliah (29 %), dan bahkan ada yang ingin berhenti kuliah (12 %), dapat berimpilikasi pada meningkatnya tingkat drop-out/ pengunduran diri mahasiswa yang akan menyebabkan pembiayaan orang tua dan membebankan ekonomi orangtua, apalagi bila kondisi ekonomi orangtua kurang mampu. Oleh karenanya, kami memberi saran agar Pemerintah dapat memberikan bantuan operasional untuk tingkat perguruan tinggi agar mengurangi beban orangtua dalam pembayaran kuliah di jenjang perguruan tinggi. Mahasiswa pun harus termotivasi dan siap menerima kebudayaan dan membuktikan diri dapat berprestasi meskipun tinggal jauh dari orangtua.

b. Dalam bidang Sosial, dari data yang didapat masih ada pengaruh culture shock yang dialami oleh mahasiswa meskipun sudah tinggal dalam waktu minimal 1-2 semester selama di Bandung, bahkan semakin lama tinggal di bandung, persentase nya malah semakin tinggi . Dalam hal ini kelompok kami memberi saran agar mahasiswa mampu meningkatkan pengalaman beradaptasi seperti mengetahui lebih dahulu suasana kampus / lingkungan tempat tinggal, datang cukup awal sebelum masa perkuliahan dimulai, turut serta aktif dalam kegiatan di lingkungan masyarakat / organisasi kampus, dan memahami budaya yang memang ada di lingkungan tersebut, aktif berkomunikasi dengan orang tua bila ada masalah, serta persiapan mental untuk tidak malu bertanya. Dengan beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan budaya di Bandung mahasiswa merasa lebih nyaman tinggal di Bandung dan permasalahan motivasi kuliah yang terjadi terselesaikan, sementara usaha menghindar justru tidak membuat persoalan lebih baik bahkan tampak buruk.

c. Dalam bidang Pendidikan, gangguan motivasi belajar akibat culture shock yang dialami seperti malas datang kuliah, dan tidak berkonsentrasi kuliah akan mengakibatkan prestasi akademik menurun, tentunya ini tidak baik bagi perkembangan mahasiswa, karena bukan tidak mungkin dengan prestasi akademik yang kurang baik, dapat mengakibatkan mahasiswa lulus tidak tepat waktu dan bahkan peluang menuju taraf drop-out. Oleh karenanya mahasiswa harus sebisa mungkin memahami lingkungan baru mereka, sebisa mungkin beradaptasi terhadap lingkungan baru, mengikuti komunitas tempat asal tinggal supaya lebih nyaman, dan mencoba memahami lingkungan budaya yang ada misalnya dengan mengikuti adat/ kebiasaan di lingkungan sekitar.

d. Dalam bidang Kesehatan, dengan masih adanya mahasiswa hingga saat ini yang mengalami masalah dengan pola makan dan makanan yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mahasiswa, kelompok kami menyarankan agar mahasiswa pandai dalam memilih makanan yang sesuai dengan lidah mereka. Namun,bukan tidak mungkin untuk mencoba makanan di lingkungan budaya yang baru, karena dengan semakin sering mencoba maka akan terbiasa dengan makanan yang tersedia.

e. Ada pepatah mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk komunikasi yang lancar dan efektif perlu adanya usaha untuk menghargai dan memahami serta menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal di budaya itu. Jika orang ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru maka mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru tersebut.

f. Dikarenakan waktu penelitian yang terlalu singkat, jumlah data yang berhasil diperoleh masih sedikit. Terlebih lagi, banyak data dari responden yang menjawab kuesioner terkesan main-main atau kurang serius dalam menjawabnya menjadikan penelitian ini jauh dari sempurna. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atau penelitian lanjutan untuk memperbaiki dan melengkapi penelitian ini. Variabel dalam penelitian ini dapat diganti maupun ditambah. Atas kekurangan dan kelemahan penelitian ini, peneliti mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA

Muslimah. (2007, Maret ). Tips Mengatasi Culture Shock. Tersedia : http://buat.site11.com/?Mengatasi_Culture_Shock.[online] .[2013, April 11]

Tri Ediana, Lucia. (2009, Agustus ). CULTURE SHOCK YANG DIALAMI MAHASISWA PERANTAUAN FISIP UAJY ANGKATAN 2008 DAN PENGARUHNYA TERHADAP MOTIVASI KULIAH. Tersedia : http://luciatriedyana.wordpress.com/2009/08/.[online] .[2013, April 11]

Tag : , , , , , , , , , , , , ,

MENUMBUHKAN KESADARAN PENGGUNAAN TRANSPORTASI MASSAL UNTUK AKTIVITAS SEHARI-HARI

on Kamis, 28 Maret 2013

MENUMBUHKAN KESADARAN PENGGUNAAN TRANSPORTASI MASSAL UNTUK AKTIVITAS SEHARI-HARI

oleh :

Moch. Bambang Sulistio (NIM : 613110025)

Institut Teknologi Telkom

bambangbendhill@gmail.com

A. Pendahuluan

Sektor Transportasi menjadi komponen utama sistem hidup dan kehidupan, sistem pemerintahan, dan sistem kemasyarakatan. Kondisi sosial demografis memiliki pengaruh terhadap kinerja transportasi di wilayah tersebut. Begitu pula dengan tingkat kepadatan penduduk akan memiliki pengaruh signifikan terhadap kemampuan transportasi dalam melayani kebutuhan masyarakat. Di perkotaan, kecenderungan yang terjadi adalah meningkatnya jumlah penduduk yang tinggi karena tingkat kelahiran dan urbanisasi. Tingkat urbanisasi berimplikasi pada semakin padatnya penduduk dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi daya saing transportasi wilayah.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk menempati urutan empat di dunia, dengan lebih dari 250 juta penduduk. Dengan penduduk yang banyak dan kontur geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, Transportasi massal menjadi sarana angkut yang cukup penting untuk mobilitas warga dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada realitasnya, masih banyak masyarakat  enggan menggunakan transportasi massal dan cenderung menggunakan kendaraan pribadi karena berbagai alasan. Tentu dengan fenomena ini memunculkan banyak masalah baru seperti kemacetan, polusi udara, kebijakan subsidi BBM yang membengkak, bahkan dapat menyentuh langsung sektor riil seperti kegiatan perekonomian, pendidikan, dan bidang lain akibat efisiensi waktu yang berkurang dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan fenomena tersebut, terutama yang disoroti adalah bidang transportasi angkatan darat serta memberikan saran dan solusi untuk kembali menumbuhkan kepercayaan menggunakan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi.

B. Kurangnya Penggunaan Transportasi Publik

1. Tren Penggunaan Kendaraan Pribadi  Meningkat

Di Indonesia khususnya di sektor angkatan darat, tren penggunaan kendaraan pribadi terus meningkat secara signifikan, berdasarkan data dari  Badan Pusat Statistik, di tahun 2011 jumlah mobil penumpang mencapai 9.548.866 atau naik 7,40% dibanding tahun 2010. Jumlah sepeda motor sebanyak 68.839.941 unit mengalami peningkatan signifikan sebesar 12,71% dibanding tahun 2010. Hal tersebut jauh berbeda dengan pertumbuhan pertambahan angkutan massal seperti bis misalnya, yang naik hanya 0,19% dengan jumlah 2.254.406 unit.

Kendaraan Pribadi memiliki keuntungan dalam hal mobilitas, penggunaan kendaraan pribadi meningkatkan efisiensi seseorang bekerja, rekreasi dan melakukan aktivitas sosial. Tren penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat menunjukkan cerminan hasil interaksi antara peningkatan taraf hidup dan kebutuhan mobilitas penduduk. Menjamurnya perusahaan kredit motor dan mobil dengan iming-iming down payment yang murah membuat masyarakat tergiur membeli unit kendaraan pribadi, saat ini mudah ditemui satu keluarga mempunyai lebih dari satu unit kendaraan padahal tingkat ekonomi mereka belum memadai.

Bila kita ambil contoh di Jakarta, berdasakan data Kementerian Perhubungan melalui Dirjen Perhubungan Darat, tercatat 84% kendaraan yang lalu lalang adalah kendaraan pribadi. Dari jumlah ini, 45% hanya bermuatan satu orang saja, sehingga penggunaan kendaraan pribadi sudah tidak lagi efisien. Belum lagi pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertambahan kendaraan, di Jakarta misalnya yang hanya bertambah 0,01 % pertahun membuat kemacetan panjang tidak dapat lagi dielakkan.

2. Penggunaan Transportasi Massal terus menurun

Penggunaan kereta api sebagai alat angkut transportasi massal, saat ini baru tersedia di pulau Jawa, dan Sumatera. Sayangnya, penggunaan transportasi yang dikelola PT.KAI ini jumlahnya dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Di Pulau Jawa misalnya berdasarkan data di tahun 2012 jumlah pengguna kereta api hanya 99,8 juta, atau hampir turun dua kali lipat dari sebelumnya di tahun 2011. Hal serupa juga tidak jauh berbeda dengan keadaan di Sumatera.

Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat dalam menggunakan transportasi massal seperti kereta api terus mengalami penurunan. Penurunan ini bisa disebabkan banyak faktor, seperti harga, kenyamanan, hingga ketepatan waktu yang tidak sesuai sehingga mengganggu mobilitas masyarakat.

3. Sarana dan Prasarana Tidak Memadai

  Sarana transportasi massal yang ada terkesan dibiarkan tumbuh asal-asalan tanpa manajemen yang baik. Saat ini masih mudah ditemui alat transportasi massal yang tidak laik lagi digunakan karena usia yang sudah tua namun masih dibiarkan beroperasi, bahkan fasilitas didalamnya juga cukup memprihatinkan, seperti kursi yang sudah mulai berlubang, kaca yang sudah retak, tidak adanya pendingin udara, tidak adanya pintu darurat, dibiarkannya pedagang masuk untuk berjualan, tingkat kebersihan yang buruk, hingga tindakan supir yang ugal-ugalan, sehingga tidak memberikan kenyamanan malah membahayakan penumpang. Belum lagi polusi udara yang tinggi akibat mesin yang sudah usang. 

Halte yang saat ini berjejer di pinggir jalan tidak lagi digunakan sebagai tempat penumpang untuk menunggu angkutan, tidak sedikit halte justru digunakan untuk pedagang kaki lima dan tempat “transit” pengemis untuk mencari sesuap nasi. Transportasi massal seperti bis dan angkutan umum belum termanajemen dengan baik, dikarenakan kebijakan pemerintah sedari awal yang kurang memperhatikan hal ini. Seharusnya bis dan angkutan umum tidak menurunkan penumpang di sembarang jalan, tapi di halte yang telah ditentukan. Setiap angkutan umum dan bis seharusnya memiliki trayek masing-masing dengan jumlah yang merata sesuai dengan tingkat kepadatan penduduk di wilayah tersebut, sehingga tidak ada lagi demonstrasi supir angkot yang mengeluh karena kekurangan penumpang. Peremajaan kendaraan pun sangat penting untuk memberikan kenyamanan kepada penumpang. Peran Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan sangat dibutuhkan dalam menindak tegas angkutan yang sudah tidak laik jalan namun masih “berkeliaran” di jalanan, dan juga memberikan subsidi dalam harga perjalanan sehingga dapat meningkatkan minat masyarakat kembali menggunakan transportasi umum.

        Bila kita melihat sistem transportasi umum di Singapura misalnya, sistem transportasi di Singapura sudah terintegrasi dengan pembangunan kawasan komersial dan pemukiman. Pemerintah Singapura bekerja sama secara konsisten dengan berbagai lembaga tanpa adanya Korupsi dan Kolusi demi kemajuan transportasi di negaranya. Efisiensi waktu, kemudahan, integrasi, dan kenyamanan adalah ganjaran atas usaha pemerintah Singapura dalam meningkatkan layanan moda transportasi. Pelancong baru sekalipun akan mudah bepergian kemana-mana karena terdapat peta yang dengan mudah ditemui di setiap sudut, bis teratur sesuai jadwal, stasiun-stasiun MRT yang dilengkapi pendingin udara, dan integrasi dengan menggunakan teknologi informasi. Semua fasilitas yang ada dirawat seolah-olah selalu terlihat baru. Begitu juga di Jepang tidak jauh berbeda, masyarakat memilih menggunakan transportasi massal untuk aktivitas sehari-hari karena segalanya serba efisien, ketika ingin melakukan rekreasi, barulah mempertimbangkan menggunakan kendaraan pribadi.

    Saat ini, ibukota DKI Jakarta sudah mulai melirik potensi transportasi massal dengan sudah berjalannya Trans Jakarta dan rencana dibangunnya MRT, meskipun bisa dikatakan terlambat, semoga usaha ini cepat terwujud dan dapat diikuti oleh pemerintah daerah lainnya.

C. Upaya Membangkitkan Minat Masyarakat Menggunakan Transportasi Umum

       Pembangunan transportasi massal di kota-kota besar di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak. Kita tidak mungkin membiarkan pertumbuhan kendaraan pribadi dan menimbulkan kemacetan yang kian parah. Diperlukan upaya keras dari pemerintah dalam menggiatkan kembali penggunaan transportasi umum. Karut marutnya sistem transportasi nasional mungkin tidak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru sistem transportasi nasional, kalaupun ada seperti berdiri sendiri.

        Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, BAPPENAS, dan Pemerintah seperti tidak terintegrasi satu sama lain, sehingga tidak pernah terbangun sistem transportasi intermoda yang andal, efisien dan mampu memenuhi tuntutan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

        Dalam sektor Kebijakan dan Hukum, Pemerintah harus mulai melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait untuk membuat cetak biru transportasi yang layak dan memadai, dan secepat mungkin merealisasikannya. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menekan laju pertumbuhan kendaraan pribadi juga harus dilakukan, misalnya dengan melakukan pembatasan pembelian jumlah kendaraan pertahun misalnya, dan secara tegas melarang kendaraan yang sudah tidak laik beroperasi untuk tidak lagi digunakan di jalan raya, bila masih digunakan diberikan sanksi berupa hukuman penjara agar memberi efek jera. Terkait kebijakan yang ada seperti pembatasan kendaraan dengan pola ganjil genap, ataupun penerapan three in one harus dilakukan uji publik terlebih dahulu, agar tidak menimbulkan apatisme dari masyarakat dengan cara melakukan segala cara untuk melanggar kebijakan yang dibuat.

        Dalam sektor Ekonomi, subsidi bagi transportasi massal sangat diperlukan agar minat masyarakat dalam menggunakan transportasi massal meningkat, sebaliknya juga ada retribusi bagi pengguna kendaraan pribadi dengan meningkatkan tarif tol ataupun penambahan pajak kendaraan.

      Dari bidang Sosial, dibutuhkan sosialisasi yang jelas dari pemerintah dan kesadaran warganya untuk mulai kembali menggunakan transportasi umum, jangan sampai menunggu lagi. Setelah pembenahan transportasi dilakukan, pemerintah segera melakukan sosialisasi dengan memberikan nilai-nilai positif bila menggunakan transportasi umum, dengan demikian diharapkan minat masyarakat pada transportasi umum meningkat.

       Dari bidang Pendidikan, kurikulum pendidikan berkarakter yang saat ini sedang didengung-dengungkan harus tercipta realisasinya, misalnya dalam disiplin antre, disiplin menjaga kebersihan, kesadaran lingkungan , dan lainnya sehingga ketika peserta didik terjun ke masyarakat sikap kesadaran dan disiplin tersebut dilakukan ketika mereka menggunakan transportasi umum.

        Di bidang Kesehatan dan Lingkungan, diperlukan sosialisasi dari Pemerintah agar dapat menimbulkan kesadaran masyarakat bahwa semakin banyak kendaraan yang ada di jalan, menimbulkan tingkat polusi tinggi yang dapat merusak kesehatan lingkungan maupun kesehatan manusia akibat kualitas udara yang kita hirup. Pembatasan pembangunan gedung-gedung tidak boleh kebablasan, harus memperhatikan penghijauan terutama di pinggir jalan dan pusat perkotaan untuk mengimbangi tingkat polusi kendaraan.

         Di bidang Teknologi Informasi, integrasi sistem tiket dengan menggunakan kartu (smart card) dapat dilakukan, sehingga dapat memudahkan masyarakat dalam melakukan pembayaran. Kartu yang dibuat hendaknya tidak berlaku di satu jenis kendaraan, namun di semua jenis kendaraan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme dan kerjasama yang baik diantara pemerintah dan pihak terkait.

D. Penutup

       Kebutuhan Transportasi Massal saat ini adalah kebutuhan yang mendesak. Perlu upaya pemerintah dan kesadaran masyarakat dalam upaya kembali menggiatkan penggunaan moda transportasi massal, namun tidak berarti masyarakat dilarang menggunakan kendaraan pribadi, namun penggunaannya tidak dilakukan dalam aktivitas sehari-hari. Bila Pemerintah bekerja keras dengan menciptakan kondisi moda transportasi kita sudah layak dan memadai disertai fasilitas pendukung yang baik, niscaya akan banyak pengguna kendaraan pribadi yang akan beralih ke moda transportasi umum sehingga berdampak positif bagi kehidupan masyarakat seperti berkurangnya tingkat kemacetan, efisiensi waktu tempuh, berkurangnya polusi, dan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Amilla. (2010, Agustus 13). Belajar dari Singapura membuat sistem transportasi terintegrasi. Tersedia : http://amillavtr.wordpress.com/2010/08/13/belajar-dari-singapura-membuat-sistem-transportasi-terintegrasi//.[online] .[2013, Maret 26]

Badan Pusat Statistik. (2013, Januari 4). Statistik Indonesia 2012. Tersedia : http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/si_2012/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202012/ [online]. [2013, Maret 27]

Departemen Perhubungan.(tanpa tahun). Pedoman Teknis Prinsip Dasar Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Pribadi. Tersedia : http://bstp.hubdat.web.id/data/arsip/batas.pdf.[online]. [2013, Maret 27]

RIWAYAT HIDUP

Moch. Bambang Sulistio lahir di Bandung, 15 Juli 1992 adalah lulusan SMA Negeri 1 Margahayu Bandung, saat ini sedang menempuh pendidikan Diploma Tiga (D-3)  di Jurusan Teknik Informatika , Institut Teknologi Telkom.

Tag : , , , , , , , , ,

Makalah Masyarakat Multikultural

on Rabu, 27 Februari 2013



A.     Ringkasan Bab
1.      Masyarakat Multikultural
Dalam konsep ilmu sosial, ada tiga istilah yang digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri dari agama, ras, agama, dan budaya yang berbeda, yaitu pluralitas, keragaman, dan multikultural. Makna ketiga istilah tersebut tidaklah sama, dalam konsep pluralitas menekankan pada hal-hal yang lebih dari satu. Keragamaan menunjukkan bahwa keberadaan lebih dari satu, sementara itu multikultural adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuaan tanpa memperdulikan ras, agama, bahasa,  maupun gender.
Bentuk nyata multikluturalisme sudah nyata sejak Tuhan menciptakan alam dunia ini, terbukti dengan banyaknya negara yang memiliki keanekaragaman budaya, tercatat dari 175 negara, hanya 12 negara yang penduduknya bersifat homogen, diantaranya Jerman, Jepang, dan Somalia. Indonesia sendiri termasuk negara heterogen  dengan 656 suku bangsa dan bahasa dengan lebih dari 300 bahasa.
Konsep Masyarakat Multikultural mulai dikenal sekitar 1970-an, gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada, kemudian diikuti Australia, AS, Inggris, Jerman, dan lainnya. Kanada pada waktu itu didera konflik yang disebabkan masalah hubungan antarwarga negara. Masalah itu meliputi hubungan antarsuku bangsa, agama,ras, dan aliran politik yang terjebak pada dominasi. Konflik itu diselesaikan dengan digagasnya konsep masyarakat multikultural yang esensinya kesetaraan, menghargai hak budaya komunitas dan demokrasi. Gagasan tersebut segera menyebar ke Australia, Eropa, dan menjadi produk global.
Pandangan dunia multikultural secara substansi sebenarnya tidaklah terlalu asing bagi bangsa dan Negara Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan bahwa meskipun bahwa Indonesia merupakan negara multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam persatuan dan kesatuan.
Multikultural berasal dari kata multi yang berarti banyak (lebih dari dua) dan culture yang berarti kebudayaan. Secara sederhana, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki lebih dari dua kebudayaan.
J.S. Furnival (1967) berpendapat bahwa masyarakat majemuk / multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.
Karakteristik Masyarakat Multikultural menurut Van Den Berghe :
·      Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain
·      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer
·      Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar
·      Relatif sering terjadi konflik diantara kelompok yang ada

2.      Faktor Timbulnya Masyarakat Multikultural di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan salah satu contoh masyarakat multikultural, wajah asli kemajemukan masyarakat Indonesia adalah keanekaragaman kelompok-kelompok sosial atau suku bangsa beserta kebudayaannya. Keadaan masyarakat yang multikultural tentu memiliki latar belakang tersendiri, berikut beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya masyarakat multikultural.
a.    Keadaan Geografis
Keadaan Geografis wilayah Indonesia yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau tersebar di suatu daerah ekuator sepanjang lebih dari 3000 mil dari timur ke barat dan 1000 mil dari utara ke selatan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terciptanya multikultural di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui pendatang pertama di kepulauan Indonesia adalah ras australoid yang menyebar di kepulauan Indonesia 2000 tahun lalu, kemudian ras negroid 10.000 tahun yang lalu, pada zaman Mesolitikum, kemudian datang ras Malayan Mongoloid di dua periode, Neolitikum dan zaman logam, sekitar 2500 tahun sebelum masehi. Ras Australoid kemudian pergi ke Australia dan sebagian kecil ada di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Ras Melanesian Negroid tinggal di Maluku dan Papua, sedangkan ras Malayan Mongoloid tinggal di Indonesia bagian barat. Ras tersebut disebut bangsa Indonesia dalam bentuk keanekaragaman suku bangsa setelah proses amalgamasi dan isolasi.

b.    Pengaruh Kebudayaan Asing
Letak Indonesia yang strategis diantara Samudera Hindia dan Pasifik mempengaruhi proses multikultural, termasuk unsur kebudayaan dan agama. Kepulauan Indonesia yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan antara India, Cina dan Wilayah Asia Tenggara. Pengaruh agama dan kebudayaan Hindu Budha pada awal masehi hanya berkembang di Indonesia bagian barat. Pengaruh kebudayaan Cina berkembang di pantai dan kota dagang. Pengaruh islam berkembang di abad 13, terutama di Indonesia Barat dan sebagian Maluku. Pengaruh kolonial Portugis dengan agama Katolik terjadi di NTT. Awal abad ke-16, Belanda datang dan pada abad ke-17 mengembangkan agama Kristen dan Katolik di beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan kota besar Jawa.



c.       Kondisi Iklim yang berbeda
Wilayah lingkungan suku bangsa memperlihatkan variasi yang berbeda, ada komunitas yang mengandalkan laut sebagai sumber kehidupan, contohnya di Riau dan Bajo, Sulawesi Selatan. Orang Buton, Bugis, Makasar, Bawean, dan Melayu dikenal sebagai masyarakat pesisir. Terdapat juga komunitas pedalaman, contohnya Gayo Alas di Aceh, Dayak di Kalimantan, dan Toraja di Sulawesi Selatan.


3.      Pengaruh Multikultural Terhadap Kehidupan Beragama, Bermasyarakat, Bernegara, dan Kehidupan Global
Manusia secara kodrat diciptakan sebagai mahluk yang dibekali nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik secara fisik maupun mental. Seringkali perbedaan kebudayaan menciptakan ketegangan hubungan antar anggota masyarakat. Realitas tersebut harus diakui dengan sikap terbuka, logis, dan dewasa karena perbedaan harus kita anggap sebuah rahmat, dimana kemajemukan dapat mengajarkan kita bersikap toleransi, kerjasama, dan berpikir dewasa, jika keterbukaan dan kedewasaan sikap dikesampikan, maka kemungkinan akan tercipta masalah – masalah yang menggoyahkan persatuan bangsa seperti.
a.       Diharmonisasi, tidak adanya penyesuaian atas keragaman manusia dengan lingkungannya.
b.      Perilaku diskriminatif terhadap etnis atau kelompok masyarakat tertentu akan memunculkan masalah yang lain dalam berbagai bidang yang tentu saja tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
c.       Ekslusivisme, rasialis, bersumber dari superioritas diri, contohnya: keyakinan bahwa secara kodrati ras/suku kelompoknya lebih tinggi dari yang lainnya.

Ada beberapa hal yang dilakukan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan oleh pengaruh negatif agama, diantaranya.
a.       semangat religius
b.      semangat nasionalisme
c.       semangat pluralism
d.      semangat humanisme
e.       dialog antar umat beragamam
f.       membangun suatu pola komunikasi untuk interaksi maupun konfigurasi hubungan antar agama, media massa, dan harmonisasi dunia.




Problematika lainnya yang timbul dan harus diwaspadai adalah adanya disintegrasi bangsa, ada lima faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama bubarnya sebuah negara dan disintegrasi bangsa itu, yaitu:
a.       Kegagalan kepemimpinan
b.      Krisis ekonomi yang berlangsung lama
c.       Krisis politik, misalnya terjadinya perpecahan di elite tingkat nasional sehingga menyulitkan lahirnya kebijakan pro rakyat dalam mengatasi krisis ekonomi.
d.      Krisis sosial, dimulai dari adanya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan diantara kelompok-kelompok masyarakat
e.       Intervensi asing, dengan tujuan memecah belah serta mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi paska disintegrasi.

B.     Pertanyaan Terkait Bab
1.      Indonesia termasuk negara multikulturalis yang bila semua bersatu padu menjadi sesuatu yang indah, namun mengapa hal-hal mendasar seperti konflik antar agama dan suku masih saja terjadi ?
2.      Bagaimana peran yang sebaiknya dilakukan pemerintah untuk menekan proses disintegrasi bangsa di Indonesia ?
3.      Bagaimana mempertahankan nilai-nilai kulturalisme di tengah masyarakat agar tidak punah dan tidak terpengaruh budaya asing seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini ?
4.      Mengapa kegagalan kepemimpinan menjadi salah satu faktor utama disintegrasi bangsa ?
5.      Bagaimana peran seorang mahasiswa dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya menjaga perbedaan diantara kehidupan bermasyarakat ?
6.      Apa maksud dari perbedaan antara peradaban tidak nyata, melainkan mendasar ?
  

C.     Daftar Pustaka

Budiati, Atik Catur. 2009. Sosiologi Kontekstual Untuk SMA & MA Kelas XI. [pdf]. http://bse.kemdiknas.go.id/. [17 Februari 2013]
Malihah, Elly. 2012. Bahan Kuliah PLSBT. [pdf].  http://file.upi.edu/browse.php?dir=Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196604251992032-ELLY_MALIHAH/Bahan_Kuliah_PLSBT%2C_Elly_Malihah/.  [17 Februari 2013]
Sosiologi, Tim. 2009. Sosiologi 2 Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. [online]. http://books.google.co.id/books?id=WHAMMdyHU4C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false. [16 Februari 2013]
Waluya, Bagja. 2009. Sosiologi 2 Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. [pdf]. http://bse.kemdiknas.go.id/. [17 Februari 2013]

Masyarakat Multikultural dicuplik dari Kumpulan Tugas Semester 4 Mata Kuliah Humaniora  D3IF ITTelkom
Tim : Moch. Bambang S, Nanda Hasanal, Russel Irvan

Tag : , , , ,
 
 
© bambang sulistio | situs pribadi Moch. Bambang Sulistio | All Rights Reserved
www.bambangsulistio.web.id is continuation of bambangworld.blogspot.com